Time

HAKEKAT KESEDIHAN DAN PENYESALAN ( 1 )

Rabu, 23 November 2011

لحزن على فقدان الطّاعة مع عدم النّهوض إليها من علامات الإغرار (الحكم)  ٦۳
Kesedihan (penyesalan) sebab kehilangan ibadah kepada Allah, tetapi tidak disertai semangat (malas) untuk melasanakannya, merupakan salah satu dari tanda-tanda tertipu (terpedaya syaithon)

Pada umumnya orang yang ahli ibadah akan merasa sedih jika teledor ibadahnya, lain halnya dengan orang yang bukan ahli ibadah, ia tidak akan merasa bersedih apabila ketinggalan ibadah seakan-akan tidak merasa kehilangan sesuatu apapun.

Kesedihan seperti ini adalah kesedihan yang bodoh dan palsu. Ia merasa sedih akan tetapi malas. Ia merasa rugi tetapi melewatkan kesempatan. Ia merasa tertinggal tetapi tidak mau mengejar. Itu adalah merupakan yang sangat luar luar biasa. Hamba seperti ini tidak berusaha mencari dan menggunakan kesempatan dengan sungguh-sungguh, ia selalu terbelenggu oleh rasa
senang dan larut mengikuti panggilan hawa nafsu. Kita sebenarnya ingin bangkit namun masih dalam khayalan. Untuk menghapus kemalasan seperti gambaran di atas maka seorang hamba harus memiliki semangat keimanan yang mampu memerangi kemalasan dan kesenangan nafsunya.
Kesedihan atau penyesalan karena tertinggalnya suatu ibadah yang tidak disertai dengan semangat untuk beribadah adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda tertipu dan terpedaya oleh syaitan.
Seringkali kesedihan kita bukan kesedihan yang muncul dari tertinggalnya suatu ibadah, tetapi karena kehilangan pekara duniawi. Semisal kita kita kehilangan uang Rp. 100.000, mungkin kita akan merasa lebih menyesal dibanding penyesalan  kita ketika tertinggal melakukan suatu ibadah karena beberapa sebab tertentu.

فلا تغرّنّكم الحياة الدّنيا  ( لقمان)  ۳۳
“maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu sekalian”
(QS. Luqman : 33)

Dzikir kepada Allah adalah selalu ingat kepada Allah kapanpun dan dimanapun, baik ketika sholat, puasa, duduk, berdiri, ataupun ketika istirahat.
Pada umumnya keteledoran dalam beribadah disebabkan terlalu tersibukkan mencari harta benda. Hal ini bukan berarti bekerja itu tidak diperbolehkan, bahkan diperintah oleh Allah. Hanya saja urusan duniawi harus diorientasikan atau diarahkan kepentingan akhirat. Sebab hidup di dunia ini tujuannya untuk beribadah, menghambakan diri dengan segala yang di punyai kepada Allah, baik berupa jiwa, tenaga, dan pikiran kepada Allah. Dengan demikian tidak dibenarkan bila kesibukan dunia yang hanya sebagai alat atau wasilah untuk sampai ke akhirat itu justru menggeser hal yang inti yang merupakan tujuan pokok, yakni beribadah. Sebagaimana disabdakan Nabi dalam kitab Rouhul Bayan

الدّنيا مزرعة الأخرة
“dunia adalah tempat menanam modal untuk akhirat”

Barang siapa yang bersedih dan menyesal sebab meninggalkan suatu ibadah, tetapi hal itu tidak mendorongnya untuk semangat dan melakukan ibadah, maka kesedihan semacam itu adalah kesedihan palsu. Karena kesedihan seperti itu biasanya untuk menjaga harga diri supaya tidak cacat dimata orang lain.
Seseorang yang hatinya selalu sedih adalah terpuji, bila sedihnya dalam rangka koreksi diri dan timbul karena memikirkan kekurangan-kekurangan dalam beribadah kepada Allah.
Abu Ali Ad-Daqqoq berkata: “Orang sedih itu mampu menempuh perjalanan menuju Allah hanya dalam waktu sebulan, yang tidak dapat ditempuh oleh yang tidak sedih dengan menmpuhnya selama bertahun-tahun.”

Apabila seseorang sudah mampu merasakan kesedihan yang hakiki dan mendorongnya untuk meningkatkan amal ibadahnya berarti ia telah berada pada jalur tasawuf.
Dalam dunia tasawuf , perjalanan spiritual manusisa menuju Alloh SWT. Itu akan menapaki jenjang tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.      Tahapan ‘abid yaitu orang yang ingin beribadah kepada Alloh SWT dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksaan neraka.
2.      Tahapan mukhlis yaitu orang yang beribadah hanya semata-mata karena Alloh SWT bukan karena ingin masuk surga ataupun selamat ari siksa api neraka.
3.      Tahapan muhib yaitu oeang yang cinta kepada Alloh SWT.
4.      Tahapan ‘Arif yaitu orang yang ma’rifat kepada Alloh SWT.
Dalam perjalanan tahap muhib menuju ketahapan arif, seseorang akan mengalami empat tahapan tajalli (kesadaran terdalam setiap individu untuk merasakan keberadaan kekuasaan Alloh SWT yang ada di dalam hati ) :
1)     Tajalli ‘affaal
2)     Tajalli sifat
3)     Tajalli asma’
4)     Tajalli dzat
Apabila ia telah sampai pada tajalli dzat, maka berarti telah berada pada maqom ‘arifin (ahli ma’rifat).
Perjalanan menuju Alloh SWT itu memang bukanlah sebuah proses instan, lebih-lebih bagi hati yang kurang bersih, dan juga tergantung kadar serta usaha seseorang dalam penyucian hatinya. Karena beragamnya kondisi atau watak hati manusia, Imam Abu Athoillah menggambarkan hati itu seperti tanah:
1.      Adakalanya tanah yang digali sedikit saja, sudah bisa keluar mata airnya. Ini adalah gambaran bagi hati seseorang yang bersih. Misalnya, mereka yang membiasakan membaca sholawat syadziliyah saja sudah nampak (keluar) ilmu ladunniyah nya (Ilmu yang langsung dari Alloh SWT , secara spontanitas tanpa belajar).
2.      Ada kalanya tanah yang digali sampai dalam tapi tetap saja tidak keluar mata airnya, karena kondisi tanahnya yang kering, tandus dan berbau. Hal ini adalah gambaran hati yang kurang bersih. Misalnya walaupun sudah gletu sholawat syadziliyah, bahkan telah dibai’at dan mengamalkan thoriqot syadziliyah  dan thoriqoh Qodiriyah selama 10 tahun bahkan lebih , akan tetapi belum juga keluar mata airnya (hkamah), karena kurang memperhatikan masalah hati.
Tanah yang tandus, sebagaimana hati kita semua, membutuhkan siraman dan harus diisi dengan air yang bersumber dari mata air yang lain, agar tetap terawat dan subur. Sebab apabila tidak diisi, maka tanah tersebut akan kering gersang selamanya. Begitu pula hati orang yang kurang bersih, harus diisi dengan mengikuti pengajian, majlis ta’lim dan siraman rohani lainnya. Apabila  tidak demikian, maka perjalanannya menuju Alloh SWT akan sulit bahkan tersesat. Disinilah pentingnya peranan guru Mursyid yang awas mata bathinnya, untuk membimbing dalam perjalanan sepiritual thoriqoh agar kita tidak tersesat. Dan dalam mengisi air juga mesti berhati-hati. Carilah sumber air yang bersih. Jangan sampai diisi dengan air kotor lagi keruh.
Begitu pula saat dalam proses mengisi hati, lihatlah dulu siapa yang mengaji dan apa alirannya, jauhilah aliran bid’ah (ahli bid’ah), sebab itu akan menambah rusaknya hati. Pilihlah aliran yang mengikuti Ahli Sunnah Wal Jama’ah, aliran Thoriqoh Mu’tabaroh, juga lihat dulu kitab apa yang dikajinya, kitab Mujarrobatkah? Atau kitab-kitab Thoriqoh yang tidak Mu’tabar (kitab-kitab yang kebenarannya tidak diakui oleh para ulama) yang menyebabkan perjalanan kita nanti kita akan tersesat bahkan bisa membuatnya gila atau stress.
Dalam proses suluk dan wusul kepada Alloh SWT itu ada ilmunya dan harus dibimbing oleh seorang guru (Mursyid Kamil). Seperti yang telah diungkapkan oleh syekh Abdul Wahab Assya’roni didalam kitab “ Al-Uhud Al Muhammadiyah “:
من لا شيخ له فشيخه الشيطان
“Barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya adalah syaitan”

Dan Syekh Abu Yazid Al Bustami berkata:
ومن كلام أبي يزيد البسطامي قدس سره : من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان (روح البيان : ص : 3)
“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah syaitan”
Kebanyakan orang yang stres dala mencari kema’rifatan disebabkan oleh tidak adanya guru yang membimbing (Mursyid Kamil) atau terkadang punya guru akan tetapi salah niat. Dalam kitab Ummul al-Barohain karangan Imam Muhammad Bin Yusuf Assanusi menyebutkan syarat orang yang menjadi guru yang Kamil:
1.      Orang yang dikokohkan mata hatinya oleh Alloh SWT
2.      Hatinya yang zuhud dari dunia
3.      Belas kasih terhadap orang miskin
4.      Belas kasih kepada sesama mukmin  yang lemah.
BERSAMBUNG..........

0 komentar:

Posting Komentar